MEnjadi Tertutup atau Terbuka?

Secara umum, proses dalam sebuah organisasi atau pergerakan itu terangkai dalam tiga fase yang saling berjalin-kelindan. Tiga fase itu adalah; fase persiapan (gestation), pembentukan (formation), dan pengorganisasian (organization). Masing-masing fase memiliki karakteristik tersendiri dan menemukan pribadi-pribadi yang khusus juga dalam segi gagasan dan sikap. Karakteristik yang berbeda itu yang mengkerangkai keutuhan perjalanan sebuah gerakan atau organisasi. Sehingga mampu tampil dalam wujud yang utuh dan tidak sepotong-sepotong.

Kita lihat dalam fase persiapan atau gestation. Fase ini bertitik pokok bagi adanya segolongan orang utama sebagai suprastruktur gerakan yang akan menjadi tulang punggung bagi fase gerakan selanjutnya. Tidak hanya itu, segolongan orang ini perlu untuk disatukan, sehingga dibutuhkan instrumen untuk menyatukan orang-orang ini. Sederhananya, fase ini menjelaskan adanya interaksi yang ketat antara segolongan orang dengan seperangkat nilai (ideologi). Sehingga corak ideologis melekat sangat erat.

Setelah dirasa jumlah suprastruktur gerakan memadai, beralihlah ke fase pembentukan (formation). Yang dimaksud pembentukan disini adalah, membentuk struktur gerakan untuk mengakomodasi kemampuan dan potensi sumber daya manusia yang dimiliki. Pembentukan struktur ini merupakan alat atau pijakan yang menjembatani antara kecenderungan melihat ke dalam (ideologis) dengan bagaimana memahami tantangan-tantangan dari luar (realitas). Pembentukan struktur ini menjadi wadah untuk belajar memahami dan berinteraksi dengan kebutuhan masyarakat secara umum. Sehingga corak berpikir solutif bisa dipacu. Dan fase inilah yang menjembatani fase gestation dengan fase organization.

Mengutip Kuntowijoyo, fase pengorganisasian ini pada pokoknya, gerakan itu mampu menerjemahkan nilai-nilai atau ideologi yang dipegang dalam sebuah kerangka ilmu. Ada transformasi dari kecenderungan gerakan ideologis menjadi kecenderungan gerakan ilmu. Sebagai kerangka ilmu, maka perlu disusun konsep ilmiah lengkap dengan metodologi dan aplikasinya. Konsep ilmiah ini menjadi infrastruktur yang akan jadi rujukan gerakan dalam menyelesaikan problem di masyarakat luas. Sebagai konsep ilmiah, akseptabilitas harus bersikap luas dan menyeluruh, tidak tertutup bagi yang berideologi sama namun juga bagi yang berlainan ideologi. Sebagai sebuah konsep ilmiah, mensyaratkan adanya keterbukaan terhadap kritik, sanggahan, dan bahkan penolakan.

Kesinambungan fase-fase itulah yang menjadi wajah utuh sebuah gerakan. Ia tidak tersegmentasi hanya pada satu fase saja. Karenanya, jika hendak memahami suatu gerakan selayaknyalah melihat keseluruhan fasenya, bukan sebagiannya. Pemahaman akan keseluruhan fase akan menghantarkan pada suatu gambaran tentang adanya suatu proses pergumulan yang senantiasa berjalan. Sebaliknya, pandangan pada hanya pada sebagian fase akan menghantarkan pada gambaran yang tersegmentasi; terbuka-tertutup, pragmatis-ideologis, muda-tua.

Namun harus selalu diingat bahwa, keinginan untuk melompat lebih tinggi demi meraih kerlip bintang di atas sana, tanpa persiapan yang matang dan tanpa pijakan yang kuat sangat memungkinkan untuk jatuh tersungkur. Dan akhirnya itu hanya menjadi kisah yang tak sampai.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment