Bung Hatta, Pendidikan Karakter, dan Islam

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa….”(UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3)

Tak diragukan lagi, kini pendidikan karakter merupakan bahasan yang menarik sekaligus menyita perhatian bagi banyak kalangan, terutama bagi mereka yang bergerak di dunia pendidikan. Terminologi ini menjadi semakin populer setelah Mendiknas RI mencanangkan pendidikan berbasis karakter pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Lantas, apakah pendidikan berbasis karakter baru menjadi perbincangan hangat dalam kurun waktu terakhir ini?

Salah seorang Bapak Bangsa yang juga dikenal sebagai Pengawal Hati Nurani Rakyat, Bung Hatta, lebih dari separo abad yang lalu sudah memperbincangkan tentang pentingnya pembentukan karakter sebagai tujuan dalam pendidikan. Produk-produk yang dihasilkan dari dunia pendidikan di samping mempunyai kecakapan dan kecerdasan mutlak diperlukan adanya pembentukan watak kepribadian sehingga mampu berguna dalam kehidupan masyarakat. Bagi Bung Hatta, “tanggung jawab seorang akademikus adalah intelektual dan moral. Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri, yang ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.”

Berikut ini kutipan beberapa bagian dari pidato yang disampaikan oleh Bung Hatta dihadapan para alumni Universitas Indonesia pada tahun 1957. “Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah dapat melaksanakan pembentukan karakter itu, karena –seperti yang saya katakan tadi- ilmu ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.”

Dari ucapan ini, pendidikan karakter adalah pondasi dan bagian yang melekat dalam aktivitas pendidikan ilmiah. Karena pendidikan karakter menumbuhkan pembelaan dan cinta terhadap kebenaran, sementara aktivitas pendidikan ilmiah berkehendak untuk memverifikasi hingga mendapatkan kebenaran. Pendidikan karakter menjadi pelengkap puzzle dari cita-cita luhur yang ingin dicapai dari proses pendidikan Indonesia: terwujudnya manusia Indonesia yang seutuhnya.

Selanjutnya, dalam bagian lain pidatonya, Bung Hatta mengutarakan, “…Dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang utama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Kecerdasan dapat dicapai dengan jalan studi oleh orang yang mempunyai karakter….”

Di sini, pendidikan karakter mempunyai efek ganda: pembentukan mental kepribadian dan aktualisasi ragam potensi kecerdasan. Pendidikan karakter dapat menanamkan kualitas dan nilai-nilai kebaikan yang akan meneguhkan kepribadian dan mental yang kokoh. Selain itu, pendidikan karakter akan memberikan perhatian terhadap aktualisasi potensi kecerdasan dan kapasitas yang berbeda-beda yang dimiliki oleh setiap manusia. Sehingga dapat dinyatakan bahwa muara utama dari pendidikan karakter adalah membentuk konsep diri yang positif dalam diri peserta didik. Dengan terbentuknya konsep diri yang positif, “orang tersebut akan berani bertanggung jawab atas pendapatnya, dan berani pula menolak pertanggungan jawab tentang sesuatu yang tidak cocok dengan keyakinannya sendiri”, seperti harapan Bung Hatta.

Bung Hatta dan Islam

Jelas sudah, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  yang dicantumkan di awal tulisan ini bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk watak atau karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat. Karakter dan peradaban bangsa yang hendak diwujudkan senantiasa berasal dan digali dari akar budaya atau kebudayaan bangsa tersebut. Nilai-nilai kebudayaan Indonesia menjadi nilai dasar untuk membentuk dan mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter dan berperadaban. Oleh karenanya, menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui konsep serta nilai-nilai dasar kebudayaan yang di atasnya dibangun dan dikembangkan karakter dan peradaban bangsa.

Dalam pandangan Bung Hatta, sebagaimana diutarakan oleh Professor Yamamoto Haruki dalam buku Gelora Menuju Indonesi Baru (2010), kebudayaan memiliki dua aspek yang saling berlainan, yakni sivilisasi dan peradaban. Sivilisasi adalah aspek yang lebih menitikberatkan pada unsur materiil, sedangkan peradaban adalah aspek yang menitikberatkan pada unsur rohaniah. “Kebudayaan atau kultur akan berwujud sivilisasi, manakala tujuan jasmani untuk mencapai kesempurnaan hidup bertitik-berat pada materialisme. Kebudayaan atau kultur akan mewujud peradaban, apabila faktor-faktor adab dan moral, sebagai ciptaan agama besar pengaruhnya. Pada peradaban, pengaruh tujuan rohani lebih besar dalam mencapai kesenangan hidup” (Hatta, 1948). Jadi, dalam pandangan Hatta, aspek kerohanian terutama agama merupakan dasar untuk membangun kebudayaan Indonesia, sekaligus merupakan nilai pokok yang harus dijelmakan dalam kebudayaan. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan rohaniah.

Kebudayaan rohaniah yang bertumpu pada ajaran agama tidak boleh tidak harus senantiasa dipertahankan. Hal ini mutlak bagi Bung Hatta, artinya kebudayaan Indonesia tidak boleh dibentuk sebagai kebudayaan material, melainkan harus berwujud sebagai kebudayaan rohaniah. Agama yang bagi Hatta merupakan dasar dari kebudayaan rohaniah tidak lain adalah agama Islam. Islam dalam pandangan Hatta mampu mengintroduksikan aspek spiritualisme dengan aspek rasionalisme. Introduksi dua aspek inilah yang menjadi pegangan dan sikap dasar bagi kebudayaan Indonesia yang ada dalam benak Hatta. Aspek spiritualisme akan membentuk sikap, moral, adab, dan budi pekerti, sedangkan aspek rasionalisme dapat memacu spirit manusia Indonesia untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Islam merupakan agama yang aktif dan riil (nyata). Islam di samping memberi pegangan untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan, juga memberi peluang yang luas bagi perkembangan kecerdasan dan jiwa rasional manusia dengan mendorong orang mencari ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Nilai pokok inilah bagi Hatta telah menghidupkan kembali warisan rohaniah bangsa yang turum temurun sejak dahulu kala. Demikianlah pandangan Bung Hatta, bahwa yang menjadi cita-citanya adalah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah kebudayaan rohaniah yang ditulang-punggungi oleh agama Islam.

Sampai sini menjadi gamblang kiranya bahwa Islam sebagai tulang punggung kebudayaan Indonesia yang berwujud kebudayaan rohaniah memuat nilai-nilai dasar untuk membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat. Timbul pertanyaan kritis yang perlu kita renungkan bersama: mampukah pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, mewujudkan cita-cita dan impian Bung Hatta tersebut di negeri yang kemerdekaannya telah diperjuangkan oleh Bung Hatta, bahkan rela untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka!

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment